Senin, 23 November 2009

Bidadariku

She's always different--now she's monochrome,
just like the air--her shape forever shifting,
her body quick.

- Orsolya Karafiáth

IA selalu berbeda. Kini ia monokrom, seperti udara. Inilah kali pertama aku melihatnya seperti ini. Betapa indahnya. Betapa anggunnya. Betapa agungnya. Ia seperti baka: cahaya dan cuaca tak memengaruhinya.

Biasanya, begitu masuk ke ruangan ini, ia selalu menghampiriku: setelah kami saling tatap untuk beberapa saat, ia kemudian menceritakan apa saja yang terjadi padanya dalam satu atau beberapa hari terakhir--dan jika sudah begini, aku layaknya seorang pendeta agung yang menerima pengakuan dosa dari seorang jemaat tersayang. Atau, kadang ia nyerocos begitu saja tanpa kuketahui ujung-pangkalnya, dan aku sama sekali tak tahu apa yang sedang dibicarakannya. Kadang ia juga menceritakan padaku harapan-harapannya, mimpi-mimpinya, khayalan-khayalannya, kelak. Kadang kami hanya saling tatap, tanpa kata, tanpa suara, cuma saling pandang--sesekali ada sentuhan, belaian--dan itu sudah cukup buatku untuk mengetahui bagaimana keadaan dirinya saat itu. Kadang ia menemuiku dengan mata bengkak karena air mata, dan apa yang dilakukannya hanyalah memaki-maki apa saja, siapa saja, sambil memukul-mukulkan tangannya yang begitu lembut ke wajah dan tubuhku. Kadang ia datang dengan muka penuh senyuman, tapi sama sekali tak berbicara, hanya menatapku, mengelusku, dan aku tak tahu apa yang begitu menggembirakan hatinya hingga senyum selalu tergaris di wajahnya.

Namun hari ini lain. Ia masuk begitu saja ke dalam ruangan ini, bungkam, pucat, muram, murung, sama sekali tak menatapku, apalagi bicara padaku. Melihat gelagatnya ini, berbagai pertanyaan tentu saja segera mencuat dalam benakku. Ada apa? Kenapa? Tapi aku mencoba maklum. Ini mungkin sebuah kejutan baru buatku: ia memang selalu berbeda. Ya, berbeda. Selalu.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana dirinya saat pertama kali menemuiku. Saat itu umurnya mungkin baru sembilan atau sepuluh tahun. Namun dalam umur sedini itu, aku telah tahu bahwa semua--ya, semua--kesempurnaan seorang wanita akan muncul dalam dirinya. Rambutnya--yang saat itu belum begitu panjang--adalah malam pekat berbintang tanpa bulan: kilap-kilap kecil bertebaran dan kadang menyilaukan mataku. Jidatnya yang tak begitu lapang, yang sebagian tertutup poni rambutnya, adalah mahkota transparan berhias bulu-bulu kecil hitam keabuan. Kupingnya, bening mengembang, adalah sepasang bunga matahari di tengah hari. Hidungnya mungil mencuat, melekat tepat simetris di antara kedua pipinya, membuatku selalu ingin mengelusnya dari pangkal hingga ujung, lalu mencubitnya. Pipinya buah fuga yang terbelah tepat sama, rona merah keabuan tertebar di kedua lengkungnya. Bibirnya sepasang aliran sungai: tak ada riak, namun aku tahu di balik permukaan tenang itu ada arus yang selalu siap menghanyutkan siapa saja. Dan aku pun langsung jatuh hati padanya. Ya, langsung. Jatuh hati pada pandangan pertama. Sepanjang hidupku, tak pernah aku bertatapan dengan sosok yang menyimpan kesempurnaan fisik yang begitu pekat seperti dirinya.

Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, kuamati semua perkembangan yang ada pada dirinya. Kucermati sekujur tubuhnya tiap kali kami bertemu. Wajahnya, lehernya, dadanya, lengannya, pinggulnya. Namun, di masa kanaknya ini, hari-hariku lebih banyak berisi kerinduan untuk bertemu dengannya. Kadang tiga atau empat hari penuh ia sama sekali tak menemuiku. Dan ketika ia tiba-tiba muncul menghampiriku, apa yang dilakukannya hanyalah menyisir rambut, atau membetulkan dasi merah putihnya, atau mengusir debu yang kebetulan nyasar masuk ke dalam matanya, tanpa sepatah kata pun yang muncul dari kedua belah bibir tipisnya itu. Dan apa yang dapat kulakukan hanyalah menatapnya, mengaguminya, tanpa tahu bagaimana perasaannya, atau bagaimana pikirannya tentangku. Di masa kanaknya ini aku merasa ia adalah sesosok peri yang tak sadar bahwa kelak ia akan jadi sesosok bidadari.

PERTEMUANKU dengannya menjadi semakin sering terjadi saat ia berusia delapan belas atau sembilan belas tahun. Saat itu, jika aku tak salah ingat, sore hari sehabis asar. Ia tiba-tiba saja menyeruak masuk ke dalam ruangan ini. Dengan napas terengah, setelah melemparkan tas dan topinya ke atas ranjang, ia serta-merta menghampiriku. Ia menatapku cukup lama, menyibak belahan rambutnya, mengelus rambutnya, mengusap kedua pipinya, bibirnya, dan setelah mendekatkan matanya ke wajahku beberapa saat, ia kemudian berbisik, seperti untuk dirinya sendiri, "Apakah aku cantik?" Tawaku segera saja meledak mendengar pertanyaan konyol itu, "Tentu saja! Dan bukan hanya cantik. Kau sempurna!"

"Hari ini ia mengatakan cinta padaku. Percayakah kau? Percayakah kau bahwa hari ini ia mengungkapkan perasaannya kepadaku? Anak yang menjadi buah bibir satu sekolah itu hari ini menyatakan cintanya padaku!"

Setelah peristiwa ini, setiap hari--dalam satu hari kadang bahkan puluhan kali--ia menemuiku. Tak bisa kugambarkan betapa girangnya aku melihat perubahan ini. Dapat kukatakan, pada masa remajanya inilah aku dapat mengamati, mengerti, memiliki, dirinya sepenuhnya: kini ia tak lagi peri. Ia telah sepenuhnya menjelma bidadari. Bidadari muda. Bidadari yang sedang mekar-mekarnya: rambutnya--yang tergerai sepanjang bahunya--kini adalah malam pekat berbintang berbulan, kilau kilap menyambar-nyambar menyilaukan mataku. Jidatnya yang tak begitu lebar, yang menghampar menopang belahan rambutnya, masih tampak sebagai mahkota yang semakin transparan, berhias bulu-bulu kecil hitam keabuan. Kupingnya yang bening mengembang, kini tampak bak sepasang sayap mungil. Hidungnya mungil mancung, dan masih selalu membuatku selalu ingin mengelusnya dari pangkal hingga ujung, lalu mencubitnya. Pipinya kini buah fuga matang yang terbelah tepat sama, rona merah kebiruan tertebar di kedua lengkungnya. Bibirnya masih sepasang aliran sungai: kini tampak tambah tenang, namun aku sadar arus di balik permukaan itu begitu derasnya, dan siap menghanyutkan siapa saja ke sebuah samudra.

Pada masa remajanya ini, seiring dengan pertemuan demi pertemuan yang semakin sering terjadi di antara kami, ada dua hal yang membuatku tak pernah merasa bosan menatapnya, mengamatinya, tiap kali kami bertemu: ia selalu tampak baru. Ya, aku merasa selalu ada yang berbeda pada dirinya tiap kali kami bertemu. Tidak seperti di masa kanaknya, di masa remaja ini aku merasa ia telah sadar bahwa ia adalah sesosok bidadari: sering, saat menjelang berangkat ke sekolah, ia mengoleskan sesuatu ke bibirnya, hingga bibir itu tampak segar berpendar. Setelah itu, ia biasanya merapatkan erat-erat kedua bibirnya, lalu mecucu, lalu mendaratkan sebuah atau dua buah kecupan ke kening atau pipiku. Sering juga ia melapisi wajahnya dengan suatu bubuk kuning kecokelatan, hingga kulit wajahnya yang telah halus itu jadi tambah licin dan bersinar. Pernah juga, di tengah hari bolong, ia tiba-tiba saja menghampiriku dengan muka semringah, lalu memamerkan sepasang anting baru di kedua telinganya, sambil berkata: "Ulang tahun yang indah. Hari ini dia memberiku hadiah yang juga indah."

Hal lain yang membuatku selalu senang saat bertemu dengannya di masa remajanya ini adalah bahwa ia mulai berani memperlihatkan lekuk-liuk tubuh indahnya di hadapanku. Kadang, saat benar-benar yakin bahwa di ruangan ini hanya ada kami berdua, ia bahkan melucuti semua pakaiannya di hadapanku, lalu dengan senyum terkulum ia melenggak-lenggok, berputar-putar, naik ke ranjang, telentang, nungging, meremas kedua payudaranya, meremas pantatnya dan memperlihatkannya kepadaku, lalu mengecup hidungku sambil berkata: "Ya, ya. Aku seksi. Aku cantik dan seksi. Aku wanita paling seksi di dunia ini. Ha ha."

Dan bukan hanya itu: pada masa akil-balignya ini ia juga mulai rutin menceritakan padaku berbagai hal yang terjadi padanya dari hari ke hari. Ya, berbagai hal, bahkan mungkin semua hal, baik yang membuatku gembira ataupun sedih saat mendengarnya.

Seminggu setelah ia memamerkan anting hadiah ulang tahun dari kekasihnya itu, misalnya, ia menghampiriku sehabis magrib dengan mata berbinar dan wajah penuh senyuman. Setelah membersihkan wajahnya dengan beberapa tisu, ia kemudian menyisir rambutnya sambil bercerita padaku bahwa hari itu ia bersama kekasihnya pergi ke sebuah kebun binatang. Di sebuah bangku di sudut taman di kebun binatang itu, setelah ngobrol tentang berbagai hal dan saling mengucapkan rasa sayang, kekasihnya itu menciumnya. Dari mata dan garis wajahnya aku dapat membayangkan betapa bahagianya dirinya saat itu: itu adalah ciuman pertamanya dalam hidupnya: "Sayang, kamu nakal. Aku tahu kamu menipuku saat kau bilang sayang padaku. Tapi aku senang. Ya, ya, aku juga sayang kamu. Bangku di kebun binatang itu saksi bisu saat kau memerawani bibirku. Ha ha."

Pernah juga ia memagut dirinya lama sekali di hadapanku. Sambil mengelus kedua pipinya, menyibakkan rambutnya ke sana ke mari, meremas kedua susunya, dan sesekali menebar senyuman riang disertai kerlingan mata nakal ke arahku, ia berbisik, "Maafkan aku Martin. Kamu sudah baik sekali padaku selama ini. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap padamu. Tapi kamu tahu sendiri aku sudah punya kekasih."

SEKALI waktu ia menghampiriku dengan mata nanar kemerahan dan wajah tegang memancarkan kebencian. Dan apa yang dilakukannya di hadapanku adalah memaki-maki seseorang, sambil jarinya menunjuk-nunjuk tajam ke mata, jidat, dan hidungku, "Rasain lu, Bajingan. Sekarang dipecat! Ngomongnya mau praktikum, eh, di dalam laboratorium malah gerayangan kurang ajar. Dasar guru bajingan!"

Di waktu lain ia telentang begitu lama di atas ranjang di hadapanku, kedua tangannya ia silangkan di bawah kepalanya. Matanya menerawang memelototi langit-langit ruangan ini, seperti merenungkan sesuatu. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan menghampiriku, lalu menatapku lama sekali, tanpa kata, tanpa suara. Ia terus saja mengamat-amati wajahku sambil sesekali menyentuh jidatku, pipiku, hidungku, bibirku, lalu berbisik, "Jadi apa ya kamu nanti? Model? Penyiar TV? Sebentar lagi kamu lulus dan kamu masih tak tahu mau jadi apa nanti...."

Demikianlah, dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, hubungan kami semakin erat. Betapa tidak: dibanding orang-orang lain, aku bisa mengatakan bahwa akulah sosok yang paling ia percaya. Aku yakin hanya kepadakulah ia ungkapkan keluh-kesah terdalamnya, kekesalannya, kegembiraannya, kegusarannya, kebenciannya, dendamnya, kegilaannya, mimpi-mimpinya, keinginannya. Jika mau sombong, aku bisa mengatakan bahwa akulah sosok yang paling mengerti dirinya. Sering kali, di malam-malam sunyi, setelah lewat dinihari, saat aku yakin sebagian besar orang telah terlelap, ia menghampiriku, menatapku begitu lama, lalu membuka diri dan menceritakan rahasia-rahasia terdalamnya kepadaku. Rahasia-rahasia yang aku yakin bahkan tak pernah ia ungkap kepada siapa pun, termasuk kedua orang tuanya.

Namun, dalam beberapa hari ini ia benar-benar terlihat lain. Ia sering masuk begitu saja ke dalam ruangan ini, bungkam, pucat, muram, murung, sama sekali tak menatapku, apalagi bicara padaku. Kadang ia bahkan menangis berjam-jam di hadapanku sambil mengeluarkan umpatan-umpatan yang membingungkanku dan membuatku sedih, "Tua bangka bajingan! Sudah punya istri dua masih juga mau lagi. Mentang-mentang kaya! Kau pikir bisa membeliku dengan uang! Fuihh! Jangan bermimpi!"

Seminggu sebelum ia bersikap seperti ini, aku memang sering mendengar berbagai pertengkaran yang terjadi di rumah ini. Aku sangat sering mendengar ia berteriak-teriak dari ruangan sebelah, lalu berlari masuk ke dalam ruangan ini, melemparkan tubuhnya ke atas ranjang, membenamkan wajahnya pada sebuah bantal, lalu menangis lama sekali, sama sekali tanpa menatapku, atau bicara padaku.

Beberapa hari ini aku juga sering melihat dua orang, lelaki dan perempuan, dua sosok yang ia panggil bapak dan ibu, masuk ke dalam ruangan ini dengan muka merah dan mata penuh amarah, dan apa yang sering mereka lakukan adalah berteriak-teriak dengan suara yang begitu tinggi, hingga kadang membuat tubuhku bergetar:

"Anak tak tahu diri! Kamu bisa sekolah hingga lulus itu karena beliau yang membiayai!"

"Di mana-mana anak perawan ya nurut sama orang tuanya! Kamu kok malah melawan! Dasar anak durhaka!"

Dan terakhir, kemarin malam, aku melihat dua orang lelaki masuk ke ruangan ini, membekapnya, lalu mengangkat tubuhnya entah ke mana. Aku masih sempat melihat ia meronta-ronta sekuat tenaga dan berusaha berteriak sejadi-jadinya, namun kedua laki-laki itu tampaknya begitu kuat membekap dan mengangkat tubuhnya.

Hingga datanglah hari ini, hari saat ia tampak sama sekali terlihat lain, bahkan asing, dan aku hampir-hampir tak mengenalnya:

Ia masuk ke ruangan ini dengan wajah yang amat sangat kuyu, rambut kusut mawut, dan pakaian yang koyak di beberapa bagian. Sambil berjalan gontai dan sesekali memegangi selangkangannya, ia mengemasi semua barangnya yang ada di dalam ruangan ini ke dalam sebuah tas besar, tanpa sama sekali menatap ke arahku, apalagi bicara padaku.

Beberapa saat kemudian ia mengambil sebuah kursi yang ada di sudut ruangan ini, menaruhnya tepat di tengah ruangan, lalu membuka lemari yang ada di depanku, mengeluarkan sebuah selendang panjang, dan dengan mimik muka yang benar-benar dingin, ia naik ke kursi itu, kemudian mengikatkan selendang itu ke salah satu kayu di langit-langit kamar.

Dan seperti yang kusangka, peristiwa yang terjadi kemudian adalah sebuah kejutan baru buatku: setelah memasukkan kepalanya ke dalam simpul ikatan yang telah ia buat di selendang yang menggantung itu, dengan kaki kanannya ia menendang sandaran kursi kayu itu.

Perlahan-lahan, seiring dengan tubuhnya yang terayun-ayun di selendang itu, rona wajahnya berubah: merah pekat, kuning, kuning kemerahan, lalu perlahan membiru, memerah, membiru, merah kebiruan, lalu memutih, memucat.

Tak lama kemudian, setelah tubuhnya sepenuhnya tak bergerak, ia jadi terlihat sama sekali berbeda: Kini ia monokrom, seperti udara. Inilah kali pertama aku melihatnya seperti ini. Betapa indahnya. Betapa anggunnya. Betapa agungnya. Aku merasa, kecantikannya kini tampak baka: udara dan cuaca tak memengaruhinya.

Budapest--Balatonfüred, Oktober 2009


Zaim Rofiqi giat di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan Freedom Institute, sambil menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Buku puisinya, Lagu Cinta Para Pendosa (Pustaka Alvabet, 2009).



Koran Tempo, 21 November 2009


0 komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar