Senin, 23 November 2009

Rekayasa

Pada penutupan "Bulan Bahasa" kemarin, saya didapuk untuk memberi ceramah tentang bahasa Indonesia di hadapan pelajar sekolah menengah. Saya meminta para pelajar menentukan sendiri tema apa yang akan didiskusikan. "Saya ingin dibahas kata 'rekayasa'. Alasannya, kata itu ada unsur positif dan negatifnya," kata seorang siswa.

"Benar," jawab saya. "Menurut kamus, berkaitan dengan ilmu, rekayasa ada positifnya. Misalnya rekayasa genetika, rekayasa historis. Yang negatif, rekayasa berarti rencana jahat atau persekongkolan untuk merugikan pihak lain. Ingat, ada unsur jahat dan persekongkolan. Ada yang bisa memberi contoh kalimat?"

Seorang siswi mengangkat tangan: "Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka karena rekayasa."

Saya tanya: "Di mana unsur jahat dan persekongkolannya?" Anak itu menjelaskan: "Awalnya pimpinan polisi merasa tersinggung oleh sebuah kasus, ini kejahatannya. Persekongkolannya, kan polisi jadi penyidik dan jaksa jadi penuntut, dua lembaga ini dikenal bersaing dengan Komisi dalam tugas memberantas korupsi."

"Coba contoh lain, saya takut kalimat seperti itu," kata saya. Seorang anak mengacungkan tangan dan berkata: "Polisi merekayasa undang-undang tentang KPK untuk melemahkan Komisi."

"Di mana unsur jahatnya?" tanya saya. Anak itu menjawab: "Dalam undang-undang disebutkan, pimpinan Komisi bisa diberhentikan hanya ketika ia menjadi tersangka. Ini aneh, padahal tersangka belum tentu bersalah, kan ada praduga tak bersalah. Lagi pula status tersangka itu kan mudah amat. Seorang pimpinan Komisi bisa saja dilaporkan mencopet. Ada bukti atau tidak, polisi bisa menyidiknya dan dijadikanlah dia tersangka. Perkara nanti bebas di pengadilan, itu kan butuh waktu lama, apalagi kalau diulur-ulur. Yang penting sudah jadi tersangka, sudah diberhentikan, sudah ada pimpinan penggantinya."

Saya memotong: "Di mana unsur persekongkolannya?" Anak itu menjawab: "Siapa tahu DPR sengaja membuat pasal ini agar polisi bisa merekayasanya untuk melemahkan kerja pesaingnya. Moga-moga hakim konstitusi memberangus pasal ini."

Saya tersenyum. "Itu terlalu jauh, bisa jadi DPR kurang awas, lalu polisi memanfaatkan celahnya," kata saya. "Coba contoh yang lain, jangan menyangkut polisi, saya takut dijadikan tersangka dan ditahan."

"Ini kan negara hukum, kenapa takut kalau tak bersalah?" celetuk seorang anak. "Betul," kata saya. "Seperti yang dikatakan Pak Presiden, hormati proses hukum. Masalahnya, hukum versi siapa. Polisi punya versi sendiri, instansi lain punya versi lain lagi. Muaranya memang pengadilan, tapi jalan ke sana kan melalui sel tahanan. Ingat anak-anak, ini ceramah bahasa, bukan ceramah politik, cari kalimat yang lain."

Seorang anak berseru: "Jabatan wakil menteri hanya rekayasa." Saya jawab: "Kalimat yang bagus, tapi apa ada kebenaran dalam kalimat itu?"

"Ya dong, Pak," kata anak itu. "Menteri kan jatah partai dan pertemanan, sulit mendapatkan orang yang pas untuk jabatan yang pasti. Maka diadakan wakil menteri, dia inilah the real minister. Unsur jahatnya, uang rakyat makin terkuras untuk gaji yang tak perlu kalau saja sejak awal menteri itu orang yang pas."

"Wah, ini politik lagi, cari kalimat yang lain," kata saya. Seorang siswi minta izin bicara. "Bapak merekayasa ceramah ini," katanya.

Saya tersinggung: "Kamu ngaco, mana unsur jahatnya?" Anak itu kalem menjawab: "Tampaknya Bapak mencari ide untuk tulisan Cari Angin lewat ceramah ini. Ini kan kepentingan pribadi, ini kejahatan moral. Hentikan rekayasa itu."

***
Oleh Putu Setia
Koran Tempo, Minggu, 01 November 2009


0 komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar