Senin, 23 November 2009

Kiamat

Sembilan dari sepuluh orang yang saya wawancarai mengatakan bahwa kiamat itu pasti terjadi. Ini masalah keyakinan. Seorang tak mau menjawab dan menuduh saya mengalihkan perhatian dari isu Bibit dan Chandra, yang kini memasuki masa paling sulit bagi Presiden Yudhoyono.

Sembilan dari sepuluh orang itu juga menyebutkan bahwa kiamat menjadi rahasia Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu kapan terjadinya. "Bagaimana kalau terjadinya besok?" tanya saya. Hampir serempak mereka menjawab: "Jangan Senin besok, kita ingin lihat keputusan apa yang diambil Presiden pada kasus Bibit dan Candra." Bagaimana kalau 2011? Seseorang menjawab: "Jangan, tahun depan saya ikut pilkada. Kalau saya jadi bupati, kan cuma setahun menjabat, tak balik modal kampanye saya." Bagaimana kalau kiamat itu terjadi 21 Desember 2012? "Ah, itu takhayul," kata mereka serempak. "Itu kan versi film yang sudah tak dipercayai oleh para ulama kita."

Katanya yakin kiamat pasti datang. Katanya rahasia Tuhan yang bisa terjadi kapan saja. Tapi kok mau mengatur sendiri, kapan kiamat itu tidak boleh?

Saya tanya lagi: "Apa yang Anda lakukan seandainya kiamat itu sudah dekat?" Pertanyaan ini tentu konyol. Itu berarti saya pun terjebak pada "ramalan", padahal kiamat kan rahasia Tuhan. Tapi, karena mereka mau menjawab, ya, kita dengarkan saja.

"Saya mau terbang ke berbagai tempat, ganti pesawat setiap turun di bandara, siapa tahu pas di atas awan kiamat datang, kan saya bisa lihat dari atas," kata seseorang. "Saya mau beli HP yang bisa untuk Facebook sebanyak-banyaknya, saya kasih teman-teman saya, agar ia segera mengomentari status saya kalau kiamat datang," kata yang lain. Yang satu lagi, lelaki bertato, menjawab agak lama: "Rasanya ingin memperkosa penyanyi dangdut, kan tak masuk penjara, wong kiamat...."

"Stop," teriak saya. Meskipun ini bukan mewakili 200 juta penduduk negeri, saya semakin yakin bangsa ini sudah tak lagi religius, tapi konsumtif. Para pemuka agama acap kali berseru, "Hai umat manusia, berbuatlah saleh dan kebajikan, seolah-olah esok adalah hari akhir, hari kiamat." Kematian itu, kata pemuka agama, harus kita persiapkan. Matilah di jalan Tuhan, matilah pada saat kita sudah melaksanakan segala amal saleh dan melaksanakan semua perintah-Nya.

Dongeng tentang kiamat--termasuk film--estinya menjadi cambuk buat kita agar berlaku saleh dan beramal baik. Imajinasi tentang "hari akhir" berkembang sesuai dengan tingkat pengetahuan. Masyarakat pedesaan di masa lalu melukiskan datangnya kiamat dengan pertunjukan seni yang memukau, misalnya, adegan gunung meletus, laharnya melanda umat manusia. Orang-orang saleh disambar bidadari, diterbangkan ke atas, sehingga tak merasakan pedihnya lahar panas seperti yang dialami orang-orang durjana. Mereka tak melahirkan imajinasi tentang meteor karena tak pernah baca kisah itu.

Kini, di zaman modern, kiamat divisualkan dengan benturan berbagai benda planet yang menimbulkan gempa, tsunami, puting beliung, dan sejenisnya. Bumi porak-poranda, tak ada bidadari karena orang modern tak kenal Ken Subadra, Ken Sulasih, dan bidadari lainnya.

Di masa lalu, ketika tempat ibadah sedikit tapi umat religius, setiap orang seperti diajak berlomba dalam kebajikan begitu kelar menonton "drama" tentang kiamat. Orang berseru: "Ya Tuhan, ampuni hamba, jauhkan hamba dari dosa sebelum hari itu tiba." Kini, ketika rekaan datangnya kiamat difilmkan, orang berlomba bilang: jangan percaya. Tapi filmnya laris dan yang menonton pun tetap mengunyah popcorn. Kiamat cuma jadi hiburan.

***

Oleh Putu Setia


Koran Tempo, 21 November 2009

1 komentar:

  1. Kiamat itu akan tetapmenjadi rahasia Tuhan... tak ada makhluk yang dapat memprediksinya...

    BalasHapus

Silakan beri komentar