Selasa, 26 Januari 2010

Buruk

Tak ada berita baik di negeri ini. Semuanya buruk. Memang, jurnalistik klasik sudah memfatwakan hal itu, yang buruk sangat baik diberitakan. Bad is news, kata bahasa kerennya.

Rupanya, ini dipegang oleh para jurnalis sampai saat ini. Bahkan narasumber, dan mereka yang sengaja mendekatkan diri agar dijadikan narasumber, menyiapkan di kepalanya apa yang buruk-buruk. Mereka sadar betul, jika berani mengatakan yang buruk, pasti jadi news. Artinya, wajahnya terpampang di media massa dan televisi. Perhatikan belakangan ini, betapa banyak orang yang berpredikat “pengamat” dan “ahli”. Entah apa yang diamatinya, dan keahliannya pun tak perlu dibuktikan dengan karya. Yang penting bisa bicara menggebu.

Ke mana pun melangkah, kita seperti dikejar berita buruk. Apalagi menjelang 100 hari pemerintahan SBY jilid dua, tak satu pun berita baik jadi headline. Bangun pagi ada berita tanah longsor, siang hari penculikan bayi, sore hari bentrokan mahasiswa dengan polisi. Berita buruk saling bersaing merebut kapling: penjara bak hotel mewah, pembobolan anjungan tunai mandiri, bonek Persebaya yang rusuh. Lalu, di malam hari--kadang sampai larut--sidang Pansus Century yang selalu menyalah-nyalahkan. Perjalanan demokrasi kita baru sampai ke tahap ini: ramai-ramai memilih orang untuk kemudian kita salah-salahkan ramai-ramai.


Persaingan berita buruk itu pun luar biasa, dan membuat narasumber berita buruk merasa gerah. Bambang Soesatyo, anggota Pansus dari Golkar yang pernah jadi wartawan, misalnya, curiga jangan-jangan temuan Satuan Tugas Makelar Kasus (ini nama tak resmi tapi populer) tentang “penjara mewah” itu hanya pengalihan dari isu Pansus Century. Artinya, Bambang berharap berita buruk dari Pansus Century tetap menjadi berita utama negeri ini, jangan direcoki berita buruk lainnya. Kecurigaan ini menuai sindiran, apakah gempa di Haiti, penculikan bayi, korban mutilasi Babe, juga pengalihan dari isu Pansus Century? Belakangan muncul “sindiran balik”, yakni pembobolan di anjungan tunai mandiri (ATM) sesungguhnya sudah terjadi sejak dulu dan berdampak “sistemik”, cuma berita itu menghilang karena berhasil dialihkan oleh isu Pansus Century. Anda boleh tertawa atau mengelus dada, inilah risiko sebuah negeri yang menempatkan berita buruk sebagai berita utama.

Presiden SBY pun kerap terpancing, beliau menyebutkan: itu berita fitnah, itu mengadu domba, itu politik kotor, itu memprihatinkan. SBY ibarat menari dalam gendang orang lain. Mungkin lebih bijak jika yang “menari” itu bawahan SBY, sementara beliau berfokus pada pekerjaan utama bagaimana menyuguhkan yang terbaik untuk negeri ini.

Yang lebih bijak lagi “anak-anak bangsa” (sudah lama saya tak dengar istilah ini), bagaimana menyuguhkan berita buruk dalam sudut pandang (angle) yang baik. Pansus Century bukan untuk menyalah-nyalahkan, melainkan mengetahui di mana kekurangan kita dalam mengelola keuangan negara. Penculikan bayi bisa jadi berita baik tentang bagaimana kita belajar menjaga persalinan di puskesmas dan rumah sakit. Pembobolan ATM, kenapa harus memberi angle yang membuat nasabah panik, kenapa tidak menebarkan kebaikan kepada nasabah dengan memberitahukan apa yang harus diwaspadai? Bukankah bertebarannya ATM sampai ke luar kota, dari sudut pandang lain, adalah simbol kesejahteraan masyarakat?


Berita buruk bisa kita pandang dari sisi baiknya--kalau kita mau--tanpa harus menutupi keburukan itu. Jangan beri predikat tanah air ini sebagai “negeri terburuk”. Right or wrong is my country. Kalau bukan kita, siapa lagi yang mencintai negeri ini?


Oleh Putu Setia

Koran Tempo, 24 Januari 2010

1 komentar:

  1. huff, kadang bingung harus bangga atau malu jadi bangsa Indonesia..
    tapi tetap sebagai warga negara yang baek, kita harus berusaha agar berita-berita buruk itu bisa menjadi indah.. :)

    BalasHapus

Silakan beri komentar