Minggu, 31 Januari 2010

Wali Kota Sampah

SAYA sangat yakin para penguasa di Tangerang dan Tangerang Selatan tidak berpikir bahwa kita hidup pada 1629. Saya hakulyakin bahwa tak ada satu pihak yang merasa sedang bermain peran sebagai pasukan Mataram dan lainnya menjadi pemegang kekuasaan Batavia. Perang lebih dari 380 tahun yang lalu itu berakhir begini: dalam serangan pamungkas, Dipati Ukur, panglima Sunda yang memimpin pasukan Mataram, meracuni Sungai Ciliwung yang mengalir ke Batavia.

Kota yang kini ibu kota negara itu menurut sejarah gagal ditaklukkan, tapi gubernur jenderal Belanda yang mendirikan Batavia, Jan Pieterszoon Coen, tewas akibat kolera. Saya tak tahu pasti apakah Dipati Ukur menuangkan sejenis racun dalam jumlah banyak ke Ciliwung ataukah ia membuang timbunan sampah-sampah busuk ke aliran sungai yang membelah Batavia itu. Yang pasti, bakteri kolera mudah berjangkit di kawasan dengan air tercemar dan sanitasi buruk.

Saya khawatir timbunan sampah yang sekarang mengepung Tangerang Selatan ini bakal mengundang banyak bakteri, mungkin bukan sekadar kolera. Sampah bertumpuk di kompleks-kompleks perumahan, di pinggir jalan, di banyak tempat lain. Di Pasar Ciputat, selain di sekitar lokasi, di trotoar pembatas jalan pun sampah teronggok. Semakin hari jumlahnya semakin banyak. Sudah enam bulan ini sampah Pasar Ciputat tidak diangkut secara rutin. Bau amis, anyir, busuk, meruap ke seantero kawasan.

Dulu Bandung pernah bergelar “lautan sampah”, dan sekarang gelar itu sudah pantas disandangkan pada Tangerang Selatan. Sungguh ironis, kota yang belum “seumur jagung”, belum punya dewan perwakilan rakyat, belum punya wali kota definitif, sudah harus “berenang sendirian” untuk menanggulangi lautan sampah. Kenyamanan hidup warga kota yang merupakan kawasan terakhir “pemekaran” wilayah di Indonesia itu sirna setelah pemerintah daerah Tangerang menarik 40-an truk sampah. Truk itu dulu secara rutin mengangkut sampah di kawasan yang berpenduduk 1,2 juta orang tersebut.

Penguasa sementara Tangerang Selatan menyiapkan truk pengganti, walau tak sebanyak yang dulu ada. Tapi problem utama muncul tiba-tiba: sampah tak bisa lagi dibuang di tempat milik pemerintah daerah Tangerang. Dibuang di satu tempat di Bogor juga ditolak. Tangerang Selatan belum punya tempat pembuangan sendiri. Lokasi tersedia, tapi penduduk setempat memprotes. Tak ada orang yang mau hidup dekat dengan sampah. Kepala Dinas Kebersihan Tangerang Selatan, juga penjabat wali kota, pusing tujuh keliling.

Inilah contoh pemekaran yang kurang mulus. Provinsi Banten dan Tangerang berebut menempatkan wali kota sementara. Kendati bukan “wakil” Tangerang yang sekarang menjabat, pemda Tangerang seharusnya ikut turun tangan soal sampah ini. Sebagian pajak penduduk Ciputat, Pamulang, dan sekitarnya ini masih mengalir ke kas Tangerang.

Oktober nanti wali kota definitif Tangerang Selatan akan dipilih langsung. Siapa saja boleh maju. Penjabat sementara wali kota Shaleh M.T., Rano Karno yang sekarang Wakil Bupati Tangerang, atau Airin Rachmi yang kerabat Gubernur Banten, silakan maju. Tapi saya--dan saya kira banyak yang lain--sebagai penduduk Tangerang Selatan hanya akan memilih “wali kota sampah”: dia yang sanggup menyelamatkan kawasan ini dari timbunan lautan sampah.***


Toriq Hadad Wartawan Tempo

Koran Tempo, 31 Januari 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar