Senin, 23 November 2009

JENJANG

aku tak menutup pintu ketika kau melangkah tak menoleh lagi. kaubawa semua buaian tertinggal aku dalam kenangan. lalu ribu sepi hambur menusuk ranjang dan bimbang hanya potret buram saat kita berlarian merajut senja. tiada sisa selainnya, "turunlah!"
aku juga tak menutup pintu ketika kau mengetuknya lagi. siapakah menghitung musim
kau bentangkan jalan-jalan dan pencarian. kau sesalkan arah dan tujuan. tapi bisakah
kaujumlah perih membelit hari-hariku, "naiklah!"
Payakumbuh 2009
PEMATANG
setiap siang sebelum petang kita selalu ke sana. aku dengan lelangkah tak beralas
kau memakai rok kembang kanak-kanak. aku suka runduk padi yang menguning, katamu
dalam lembar-lembar lugu. seekor belalang hijau kutangkap agar riangmu berasa lengkap
gerombolan pipit sawah. pak tua bertopi pandan dan ibu dengan tali menggaro kaulukis
sebelum usia gegas mengintai. di pematang ini kita tak pernah gamang, bila kelak waktu jadi sebimbang pimping, bisakah kita kabarkan rindu pada angin? kemudian sebelum sampai dusun (sebelum sampai senja), lukisan itu pun kau berikan. pajang ia di setiap lengang, ada kisah kita di dalamnya, ujarmu tak ragu
ilalang dan uir-uir. undak-undak menuju sawah. di pematang itu aku berjalan pelan
menjumlah jejak juga detak. janjimu pada usia terpenuhi. bersama panen penghabisan
serta tumpukan jerami. kubayangkan kau tengah berlari di antara capung dan burung
lihat, telah kulukis padi-padi yang menguning, sorakmu di ujung pematang. lalu meloncat ke dalam kelam. secepat itukah kesetiaan terlunasi?
Payakumbuh 2009
SENJA
di antara halimun bersungkup. dan jalan-jalan lengang tertutup gerimis. adakah kaulihat
pelangi melengkung? ayun warna itu pernah membelai senja yang singkat di degup kita
aku suka biru, seolah terasa lembah dan tenang. di kesiurnya berubung capung dan
burung berputar-terbang berendahan, mereka membawa musim arbei dan galah, katamu
dengan mata bermanik. kurasa ada kapal kecil tengah terapung dan berlayar entah ke
mana. sedikit ombak dan riak, selayang gelombang juga bimbang. kulepaskan juga
senyum untukmu. meski tak kukatakan bahwa aku lebih suka warna ungu
pada senja yang lain aku di tepi pantai. laut masih begitu biru. langit juga begitu. perahu-
perahu nelayan yang berangkat. lampu redup kedap-kedip. ada dua tiga camar masih
beriangan. aku merasa tengah menunggu. mungkin sebuah kapal kecil menuju pantai
dengan tiang bergoyang-goyang. bersama layar terkembang lebar. dan di atasnya berdiri
manja seorang perempuan senja. bertatap sendu berselendang biru. tapi tak akan
kusampaikan padanya tentang aku yang lebih suka warna ungu
Payakumbuh 2009
JEJAK
ya, aku telah melewati jalan ini. berbimbang simpang, arah yang pecah bahkan wanita
wanita dengan senyum menggoda. mungkin sudah kaubaca warna jejakku. atau malam
malam hitam itu menyimpannya di lorong paling liar. menjelma nyanyian di bibir getir
pengemis kurus dan tua: di sini aku pernah meninggalkannya. adakah nanti sekisar
waktu, atau kurun menyapamu singgah. untuk mengeja bekas luka-lukaku
ya, aku telah melewati jalan ini. mengikuti kesah yang tertanam dari debar. rabu-rabu
rindu. juga berindang takut-cemas tumbuh di berbagai subuh. berderai di mata hiba
kekanak jalan yang tak pulang. kulihat diri baur di sana dan bertanya-tanya: akukah yang
mencarimu, atau sekadar jejak yang tak tampak?
Payakumbuh 2009

Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat dan menetap di kota kelahirannya.
Kumpulan puisinya yang sudah terbit adalah Musim Retak (2006) dan Dongeng-dongeng Tua (2009).


Koran Tempo, 21 November 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar