Minggu, 06 Desember 2009

Mata

IA suka memandang mata perempuan itu, tetapi tiap kali dia pandang ia lihat jarak terentang di antara mereka, bak nganga bukaan dinding kuburan. Tidak. Mata perempuan itu mungkin mirip danau yang teduh tetapi jauh, nun di sana, dibatasi jurang gelap hutan-belantara. Makanya setelah tersenyum lelaki itu selalu melengos dan menggeleng-geleng.

"Kenapa?" tanya perempuan itu dengan kening berkerut setiap dia berbuat begitu.

"Tidak, tidak."

"Tapi kau selalu melengos usai tersenyum memandang mataku."

"Oh. Jangan tersinggung," kata lelaki itu khawatir. "Matamu indah. Mata terindah yang pernah kulihat."

Perempuan itu tak terkejut mendengarnya. Lelaki itu pernah mengatakannya, tak pula sekali. Banyak orang juga memuji matanya. Kata mereka matanya pesona luar biasa yang dia miliki di samping tubuhnya yang sempurna. "Sulit menentukan mana yang lebih unggul, tapi aku cenderung memilih matamu," kata mereka.

"Terima kasih," katanya kepada laki-laki itu. "Itu sudah kau katakan. Yang belum kenapa kau selalu melengos dan menggeleng-geleng usai melihat mataku?"

Laki-laki itu bertahan untuk tak menjawab. Dia berkelit ke sana kemari dan untuk beberapa kali ia berhasil. Tetapi, suatu kali ketika perempuan itu kembali bertanya malah terasa mendesak, dia cuma bisa berucap, "Aku tidak tahu. Sungguh, aku tidak tahu."

Sebetulnya bukan karena tidak tahu. Dia merasa takut, juga malu, sebab jarak itu selalu muncul tiap kali ia memandang mata perempuan itu. Pernah ia urai rasa takut serta rasa malu itu satu per satu, seperti si penggamang melihat ke bawah dari pesawat terbang atau berjalan di jembatan penyeberangan di siang bolong, sewaktu kendaraan seliweran di bawah. Hasilnya justru rasa gelisah yang payah. Tubuhnya berpeluh, bergetar, bibirnya pucat. Kalau sudah begitu perempuan itu justru tidak tahan, lantas melenakannya kembali dalam pelukan. "Sudah, sudah. Cup, cup," katanya membujuk. "Oh, panasnya tubuhmu," bisik perempuan itu lagi dengan lembut. "Istirahatlah, aku akan selalu ada di dekatmu."

Laki-laki itu merasa amat tenang berada dalam pelukan. Seolah waktu membeku, matahari tak mengalir, jarak itu tinggal maya. Ia dan perempuan itu bak dua belahan yang dipertemukan kembali oleh tangan Tuhan. Ia saksikan embun di ujung daun, putik-putik mekar menjadi bunga, burung-burung bersiul pada dahan-dahan pohon yang rimbun. Didengarnya gemericik air, entah di mana, penuh irama. Laki-laki itu sadar belum lagi berada di surga namun ia sungguh amat bersuka-cita.

Karenanya, betapa dia amat berduka waktu perempuan itu, suatu ketika dan dalam keadaan seperti itu juga, berkata dengan suara tetap terdengar lembut dan lunak, "Sayang, apakah menurutmu aku seperti sayur yang tidak kau dapatkan di rumah?" Pertanyaan itu sungguh merusak, tak ubahnya mendung mencemari siang.

"Mengapa bertanya seperti itu?" tanya lelaki itu terbata-bata. Di samping sedih, ia merasa sangat tidak berharga. Ia melihat dirinya seperti lelaki-lelaki lain yang warna usia mereka juga menguning, tapi suka beternak pikiran seperti yang dikatakan perempuan itu dalam kepala mereka. Padahal, dia merasa, bahkan amat yakin pula, perhatiannya pada perempuan itu tak didasari pikiran kotor seperti yang ada dalam kepala para lelaki itu. Melainkan karena sesuatu yang indah, meski tak dapat dia jelaskan dengan ringkas. Tapi apakah segala sesuatu harus diberi penjelasan, apalagi dengan ringkas? Ah, ia akan lebih suka kalau disamakan dengan tokoh yang dimainkan Richard Burton dalam film Circle Two, sedangkan perempuan itu tokoh yang diperankan Tatum O'Neal meski umur si perempuan belasan tahun lebih tua dari tokoh gadis dalam film lama itu.

"Ah, tidak, tidak," jawab perempuan itu tersipu-sipu. "Cuma ingin tahu saja, kok. Tetapi sudahlah, jangan pikirkan. Forget it."

Sesaat dia masih sibuk meredakan dada yang dideburi gelombang. Lalu, perlahan-lahan, diciumnya kembali aroma bunga-bunga. Maka ia minta perempuan itu untuk tidak lagi sekali-kali berucap demikian. "Jangan ulangi lagi, ya," katanya. Perempuan bertubuh lampai itu menjawab dengan suara seperti biasa, lunak dan lembut, juga disertai senyum yang menawan, "Tidak, tidak. Aku tak akan meragukanmu lagi."

Mata lelaki itu bercahaya. Dan makin bersinar saat si perempuan menambahkan, "Sebetulnya, aku juga merasa tidak mungkin kau menganggap aku bagai sayur yang tidak kau dapatkan di rumah."

Saat itu sebetulnya sudah dia dengar kembali gemericik air penuh irama, entah di mana, burung-burung bersiul di dahan pohon yang rimbun. Tapi lelaki itu coba bertahan, justru karena dia ingin berada di tempat yang lebih sedap lagi. "Ei, ei," dia bilang. "Kok masih disebut-sebut ibarat itu?"

Dan perempuan itu lalu membawanya ke puncak yang lebih sedap lagi sewaktu berucap, "Maaf." Ia juga tersenyum, bermanja-manja. Bagai belum cukup, dia raih kepala lelaki itu ke pangkuan.

Langit cerah. Burung-burung bersiul di dahan pohon yang rimbun. Air gemericik, entah di mana, penuh irama. Matahari bagai tidak mengalir. Dan dengan mencuri-curi dia pandang pula mata perempuan itu. Meski tak lama-lama, dengan begitu tidak dapat utuh menikmati keindahan mata itu, tapi dia bisa mengelak dari jarak yang meresahkan, malah kerap menegakkan bulu romanya.

Mestinya begitu terus. Tepatnya, lelaki itu berharap keadaan seperti itu tetap awet, sebutlah bak air telaga yang tak beriak. Tapi di lain hari perempuan itu kembali bertanya, seolah ada yang tak mati-mati dalam pikiran dan hatinya. "Kadang-kadang," dia bilang, "aku suka bertanya-tanya, apakah rasa sayangmu kepadaku sebesar rasa sayang yang aku rasakan kepadamu?"

"Ei, mengapa kau ini," balas lelaki itu. "Untuk apa lagi itu kau tanya-tanya. Tentu saja sama. Ah, jangan-jangan malah lebih. Ya, aku rasa pasti lebih besar."

Perempuan itu tersenyum. Lesung-pipinya selalu membayang bila dia tersenyum, membuat cekungan indah di raut wajah, tapi saat itu si lelaki melihat ada yang tak beres. Meski sekilas, mata perempuan itu dilihatnya tak berbinar, walau redup benar juga tidak.

"Mengapa senyummu seperti itu?" dia bilang.

"Menurutmu seperti apa?"

"Seperti...."

"Ah, sudahlah," tukas si perempuan tak sabar. "Aku hanya merasa, ada yang tidak kau katakan." Ia tak menangis tapi suaranya bergetar. "Maksudku, ada yang tetap belum kau sampaikan kepadaku. Padahal, kau tahu, oh... betapa aku amat mencintaimu."

Lelaki itu tak berkomentar.

"Mengapa kau selalu tersipu dan buang muka setelah memandang mataku?" Kini pertanyaan itu terdengar seperti tuntutan.

Lelaki itu tidak juga menjawab. Mati-matian ia bertahan tetap diam. Tidak semua yang ada dalam hati dan pikiran harus diucapkan, bahkan kepada kekasih sekalipun. Ada hal-hal pelik yang justru menuntut dipertahankan, tetap ingin jadi milik sendiri, tidak sudi dibagi-bagi.

"Jawablah," kata perempuan itu.

Lelaki itu kukuh tak menjawab.

Sejak itu si perempuan memakai kacamata hitam, dengan aneka model, membuat ia terlihat semakin cantik laiknya hari di pucuk matahari. Meski banyak orang menyesali, menilai aneh, lantaran matanya yang indah tidak tampak lagi bahkan seperti sengaja dia sembunyikan, namun perempuan itu tak peduli.

Dia memang masih muda, 33, sedang laki-laki itu mendaki 55. Lelaki itu sering berpikir perempuan itu pantasnya adik, atau keponakannya. Di kampung-kampung, dulu, mereka lazim ayah-anak. Berpikir sampai di situ biasanya lelaki itu kian tersiksa karena jarak itu justru bertambah jelas, serupa jalan yang menyembul dari balik kabut. Panjang, berliku-liku pula. Saat ia 22 tahun, perempuan itu baru saja hadir melihat dunia. Sungguh tidak tahu dia mereka bakal jumpa kelak, 33 tahun setelah masa kelahiran perempuan itu. Oh, 33 tahun! Alangkah sayup pangkalnya, jauh sekali. Ya, sangat jauh jarak terentang di antara mereka. Ia sekarang berjalan menuju petang, si perempuan justru sedang mendaki bahu hari.

"Kenapa kau selalu berkacamata?" tanya lelaki itu suatu kali, setelah tercengang-cengang karena tiap jumpa dilihatnya perempuan itu tak lepas-lepas dari kacamata hitam, bahkan saat berbaring di sebelahnya sebelum bercinta.

"Supaya kau tak selalu melengos dan menggeleng-geleng habis menatap mataku."

"Tapi... rasanya sayang sekali. Matamu indah."

"Hatimu juga indah, tetapi toh tak seluruhnya dapat kubaca."

Laki-laki itu terdiam. Betapa ia sangat mencintai perempuan itu, cinta sekali, juga ingin sekali memandang matanya lama-lama. Tetapi, ia tahu yang terakhir itu pun sesuatu yang rumit. Jadi, tinggal pilih. Keduanya tak bisa. Tidak ada yang dapat dimiliki dengan utuh-sempurna.

Sayup-sayup, lelaki itu kemudian merasa berterima kasih. Walau mata perempuan itu terlihat samar dari balik kacamata dia tak takut-takut lagi menatapnya. Tak melengos, juga tak menggeleng-geleng setelahnya. Malah berani-beraninya dia merapatkan bibir ke mata yang dilapis kaca itu, seolah-olah hendak mengecupnya. "Ciumlah, kecuplah," pinta perempuan itu penuh harap.

"Nanti kacanya buram. Eh, jadi sengaja kau tutupi keindahan matamu, ya?"

"Aku pun tak punya pilihan," sahut perempuan itu. "Ciumlah, akan aku seka nanti pakai tisu. Lakukanlah, tinggal itu yang belum. Oh, tinggal mataku yang belum kau cium. Lakukan, lakukanlah!"

Laki-laki itu mendekatkan bibirnya dan diciumnya mata perempuan itu dari balik kacamata. Matanya pejam saat melakukannya, bagai mereguk keindahan mata itu dalam-dalam, sepenuh perasaan. Perempuan itu menarik napas lega, lantas berbisik-bisik dengan suara seperti biasa, lunak dan lembut, "Oh, betapa aku mencintaimu. Betapa aku sangat mencintaimu...." Di dalam hatinya lelaki itu juga berbisik-bisik.

Jakarta, 17.9.09


***
Adek Alwi bermukim di Jakarta. Pernah menjadi pemimpin redaksi harian Sinar Pagi.

Koran Tempo, 6 Desember 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar