Minggu, 06 Desember 2009

EMPAT KEMUNGKINAN TEMPAT SUAMI IBUKU BERADA

1.dia memang pergi ke negeri tetangga
dan mungkin masih berada di sana
ingin menghabiskan seluruh jatah:
usia dan ingatan tentang rumah
atau dia menunggu seseorang atau surat
datang mengajak pulang--apakah dia
lupa surat benci yang tak punya alamat?
sekarang rambut ibu yang memanjang
demi dibelai angin dan angan dibelai
mulai putih dan patah sehelai demi sehelai
tapi mengapa suaminya betah di pelarian?

2.ibu percaya seseorang bisa tersesat,
singgah atau sengaja sembunyi
di kartu keluarga orang lain
dia tua sekarang. jalan pulang
mungkin telah terlalu panjang
bagi kaki dan keinginannya
yang semakin pendek
dan rindu, meski tak mampu dikalahkan,
bisa dialihkan ke tempat pulang berbeda

3.apakah semua rumah sakit
bersedia menampung penderitaan?
jika dia menderita, oleh usia tua
atau rindu, mungkinkah dia
tak melupakan letak rumah sakit
seperti yang dilakukan ingatannya
kepada rumah yang sakit dia tinggalkan?
dia mungkin menumpang di situ
--sementara
atau menggelimpang di satu penjuru
penjara?

4.padahal ibu meminta dia membawa rumah kami
di tubuhnya--dan tak seorangpun perlu menanti
sebab bahkan petualang membawa kampungnya
ke mana-mana, agar pergi dan kembali
tak perlu diterjemahkan berbeda
mungkin ia telah melihat rumah
semakin menjauh dari dirinya
dan berpikir pulang ke kampung
yang lebih dekat dari tubuhnya:
tanah
--dan ibu hanya akan berziarah
ke dalam puisi anaknya

MENGINGAT SATU PUISI

Puisi itu mulai bicara dengan mengutip pepatah

dari negeri yang gemar berperang, negeri para

gembala domba yang mempunyai musim parah.

Kemudian istirahat sejenak, seperti menghirup

suara untuk menghibur kelelahan atau mirip

musafir yang menduga-duga letak ujung jalan.

Kalimat-kalimat berikutnya mengalir bak bah

yang tak mencintai rimbun belukar tepi sungai--

terburu-buru bagai seorang pembenci matahari

pukul 12 siang musim kemarau. Keindahannya

hanya aku terima karena menangkap kelebat

kalimat-kalimat dan bayangan-bayangan kata

yang mencuri kecupan di bibir benda-benda.

Tapi menjelang pergi, puisi itu bicara perlahan,

tenang seperti langit digenangi warna-warni tua

sorehari. Dan meski tak dikatakannya, aku bisa

melihat dengan jelas bulu-bulu halus yang lepas

dari sayap burung-burung yang pulang ke sarang,

kembang yang siap menjatuhkan diri diam-diam,

juga banyak peristiwa kecil di masa kanakku.

Saat merantau ke masa lampau itulah, tanpa

aku sadari, puisi itu pergi, menyisakan cuma

malam dan tebing yang memantul-mantulkan

panggilan yang entah dari mana pangkalnya--

juga aku yang dengan cepat merindukannya.

RENCANA MENGEDIT SATU PUISI

Aku mau menukar bangku taman itu

dengan sepasang kursi kayu sederhana

dan memikirkan warna yang sebanding

dengan dingin dinding atau mungkin

akhirnya aku biarkan saja telanjang.

Sofa yang nampak ganjil itu tentu

akan aku singkirkan ke gudang--

terlalu mewah. Mengganggu tamu,

mengganggu sepasang matamu.

Dan perempuan asing tanpa nama,

yang duduk membenahi rambutnya

di beranda, perlukah aku cari seorang

lelaki untuk menemaninya atau sendiri

akan membuat dia menjadi lebih ada?

Suara burung, dikirim dari sekurung

sangkar atau dahan pohon ketapang?

Juga lagu murung itu, datang dari tivi,

kamar mandi atau pulang dari masa lalu?

Masih tentang perempuan itu, ketika

memandang langit yang memendung,

apakah di matanya aku luapkan hujan?

Atau, ah, aku lupakan saja hujan mata?

Atau mengikuti saran seorang teman

untuk membersihkan saja mendung itu

dengan senyum atau musim kemarau

kemudian aku berjuang melupakannya

seperti melupakan senja dan kenangan

yang terlalu sering diserang keharuan?

Setelah itu, akan aku hapus seluruh

jejak yang bisa membuatmu curiga

aku sembunyi dalam puisi itu. Tapi,

apakah itu betul perlu dilakukan?

JAM BERAPA SEMALAM MATAKU MATI TERPEJAM

setiap malam

selalu ada saat ketika percakapan

kita terhenti dan aku tertidur

aku tidak pernah paham

kenapa aku tak mampu merasakan

kapan tepatnya detik-detik jam

menjatuhkan aku ke dalam

kubur tidur

juga tidak pernah bisa

mengingat-ingatnya

tidak ada orang, tidak ada

kecuali engkau yang tahu

waktu saat aku meninggalkanmu

masih dengan mata dan senyum

menyala dalam gelap

engkau selalu bertahan dan memilih

tidur setelah membereskan rambutku,

mengecup dua kali di keningku

lalu mengucap doa di kupingku

yang tak lagi peduli apa-apa

aku rindu engkau menyambut

aku bangun dengan pertanyaan:

jam berapa semalam

mataku mati terpejam?

aku rindu engkau menyebut

angka-angka waktu, jawaban

sambil tersenyum menyiapkan

sarapan yang hangat,

Nek.


****
M. Aan Mansyur lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982. Sehari-hari bekerja sebagai pustakawan di Kafe Baca Biblioholic di Makassar.

Koran Tempo, 6 Desember 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar