Selasa, 30 September 2014

Kisah sukses pengusaha keramik Arwana (Inspirasi Bisnis)

Kunci sukses usaha, bukan hanya mencari untung. Tetapi harus menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang hidup di daerah-daerah terpencil. Sehingga, bisa memberdayakan SDM lokal serta pintar dalam mencari pangsa pasar.

Tandean Rustandy yang merintis usaha pabrik keramik, PT Arwana Citramulia Tbk sejak 21 tahun lalu, mengaku dalam perusahaannya, menciptakan budaya pekerja dari posisi paling bawah. Sehingga, tidak ada yang namanya pekerja langsung pemimpin, semua harus dari bawah. Bahkan, kata dia, Arwana bukanlah berasal dari nama ikan. Melainkan singkatan dari Arab, Jawa dan China (Arwana).

Namun saat ini Arwana sudah bisa sukses, karena marketnya menengah ke bawah dan ke kampung-kampung. Meskipun sudah melantai di bursa tetapi, dia menganggap belum dikatakan sukses, baru beranjak dewasa, perlu banyak belajar. "Lihatlah Nokia, sudah berdiri tahun 1845, market cap sempat tinggi, tapi sekarang sudah turun," kata Direktur utama, Tandean Rustandy dalam acara Investor Summit and Capital Market 2014 di Jakarta, Kamis (18/9).

Tetapi, perusahaan yang dirintisnya menjadi yang pertama dengan memiliki single brand terbesar di Indonesia. Pasalnya, industri ini bergerak di sektor manufaktur dan Indonesia masuk sebagai emerging market. "Jarang sekali industri manufaktur pakai brand dia nya sendiri, banyak pakai brand orang lain. Kalau kita satu-satunya pakai brand sendiri, sehingga kalau ada gejolak enggak pernah kena. Kita enggak pernah lakukan PHK," katanya.

Perusahaan, kata dia, jangan bekerja seperti tukang jahit yang hanya menerima bahan setengah jadi lalu di pasarkan. Arwana melakukan semuanya dari nol hingga lakukan distribusi. "Kami itu rangking 15 besar sebagai perusahaan keramik. Kami cost leader dan efisien bukan hanya di Indonesia, kami bukan jago kandang, kami bisa bicara di luar negeri." Dirinya membandingkan perusahaan keramik di Thailand yakni Dynasty Tiletop, nett sell nya USD 4,50 sedangkan Arwana USD 3, sementara nett profit margin Dynasty sekira 17 persen, sementara Arwana 18,3 persen. "Investor jangan terlalu enggak pede dengan emiten lokal. Produk kita fokus menengah ke bawah, karena masyarakat kita masih ada yang miskin," katanya.

Selain itu, dirinya mengklaim Arwana merupakan satu-satunya produsen keramik dengan 5 lokasi. Pada tahun 1995 sebelum Arwana masuk ke pasar bursa saham Indonesia dengan menjadi perusahaan go public, Arwana belum bisa masuk ke kota-kota besar. "Kami dibuang ke tepi-tepi. Waktu krisis kami tetap tumbuh. Pas tahun 2001, kami melantai di bursa, bukan mencari dana. Waktu kita melantai, kita buka harga Rp 400, banyak yang tertawai kami, tapi kami ingin menjadi perusahaan publik untuk keterbukaan GCG," katanya.

Dia berharap pada pemerintahan baru dapat menyelesaikan persoalan perekonomian menjadi lebih baik, walaupun rupiah mengalami fluktuasi. "Kita percaya bahwa pemerintah yang akan datang fokus untuk buat jadi lebih baik dan stabil. Kita hidup di Indonesia kan bukan baru setahun ini, sudah lama. Rupiah kan seperti roll coaster. Ada Up ada down," kata dia.

Merdeka.com

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar