Selasa, 02 Februari 2010

Nur Alias Celeng Alias Gepeng Alias Bopeng Alias Gareng

Mungkin orang tuanya pun tak pernah terpikir kalau anaknya akan memiliki “gelar” sepanjang ini: Nur alias Celeng alias Gepeng alias Bopeng alias Gareng, gelar yang sangat panjang bukan? Dulu diberi nama Nur Asyamsiah Nurdin saja sakit-sakitan. Orang-orang tua dulu bilang: “Kepangjangan nama sih, cari nama yang singkat saja!” Dan singkat kata pula, jadilah dia dipanggil Nur, yang artinya cahaya.

Nama yang indah bukan? Tapi jangan pernah berpikir kalau Nur itu cantik! Khususnya bagi Anda yang merasa laki-laki, tapi terserah juga sih kalau Anda mau dibilang punya kelainan. Nur seorang lelaki.

Jadi begini ceritanya. Mau tahu ceritanya? atau merasa buang-buang waktu saja? Silakan klik back untuk kembali ke halaman muka atau ke rubrik yang lainnya. Kalau tidak, begini ceritanya. Tolong Kawan baca pelan-pelan agar cerita terkesan lebih dramatis!

*****

Alkisah, sebuah kenyataan telah membuat seorang anak pengusaha kaya terpaksa mengais-ngais sampah untuk mencari makan, sampai akhirnya terjebak ke dalam lembah hitam. Nur namanya.

Sepiring nasi, tahu, tempe, kangkung dan sambal mengisi perutku yang sedari tadi keroncongan. Biasa rutinitas siang, berkujung ke warteg langganan. Perutku memang sudah kenyang, tapi otakku masih keroncongan, mumet. Tak ada inspirasi di batok kepalaku yang memang kosong kurang pengetahuan. Padahal tiap minggu aku selalu rajin mengirimkan tulisan ke media dan rajin juga mendapatkan balasan: Tulisan ini akan selalu terbit di hati Anda. “Cape dwueh!”

Kulayangkan pandang pada mobil dan sepeda motor yang berlalu lalang, berimajinasi. Tiba-tiba, kurang ajar! Seorang pemuda memecahkan gelembung-gelembung imajinasiku. Menggerakan-gerakan tangan dan melongok-longokan kepalanya ke arahku.

“Ada apa bang, mo kenalan?”colotehnya, serasa ia tak punya dosa.
“Enggak,” aku agak malu bercampur kesal.
“Kok, dari tadi ngeliatin saya terus.”

Buset! Ni orang sinting apa? gerutuku dalam hati. Apa dia kira aku gay. Kurang ajar! ia langsung menyodorkan tangannya, untuk beberapa detik aku diamkan, tapi aku juga merasa tidak enak jika tak menyambutnya. Toh mungkin dia cuma iseng.

“Nur,” ujarnya.
“Anggi,” balasku.

Aku mendengar orang-orang disekitarku cekikikan menahan tawa. Mungkin dalam hati mereka, Masa dua pria tampan nan rupawan bernama seperti perempuan. Kurang ajar!

Awalnya ia memang sangat menyebalkan, tapi ternyata lama-lama mengasikan. Jangan tanya mengapa karena ceritanya akan panjang. Intinya kami saling bercerita dan bertukar pandang, kemudian merasa punya banyak kesamaan. Titik.

Nur, sebenarnya anak orang terpandang. Ayahnya adalah seorang wirausahawan yang cukup gemilang, sebelum keranjingan menjadi anggota dewan, tapi sayang gagal dalam pemilihan, dan kemudian menderita ganguan kejiwaan.

Ibunya Nur kemudian yang menjadi tulang punggung keluarga, mengadu nasib di negeri Onta. Awalnya tiap bulan Nur mendapat kabar dan kirman meski tak seberapa, tapi setahun kemudian tak lagi ada telepon tentangga yang berdering untuknya. Lengkap sudah malapeka dan Nur tak bisa berbuat-apa.

Tidak saja kesepian, Nur juga kelaparan. Nur pernah mengais-ngais sampah untuk mencari makan, menjadi gelandangan, sampai ahirnya terjerumus ke dalam kubangan kejahatan. Nur adalah residivis kawakan. Ia sudah sering keluar masuk lembaga pemasyarkatan. Dikerjar-kejar polisi baginya, mungkin hanya main kucing-kucingan. Bahkan rumah AKBP. Khasan Atman Suparman pernah ia garap habis-habisan. Gila kan? Ia memiliki empat buah KTP dan empat nama julukan, Celeng, Gepeng, Bopeng dan Gareng yang didapat dari perjalanan hidupnya yang melelahkan. Semua julukan ada catatan historisnya yang panjang, tapi lain kali sajalah aku ceritakan.

Nur selalu berpindah-pindah, tapi jika ada waktu ia selalu mampir ke kosanku, sayangnya sudah lama ia tak datang ke kosanku, dan entah kenapa aku merindukannya... bahkan sangat merindukannya (tolong jangan diartikan negatif). Aku seperti telah kehilangan kakakku sendiri. Nur selalu “bekerja” sendiri, tapi jika mendapatkan hasil selalu ia bagi-bagi. Robin Hood-lah bahasa kerennya atau si Pitung kalau dalam ranah domestik, dan ia pun kerap menjenguk ayahnya di rumah sakit penyembuhan mental, kalau tidak ingin menyebut rumah sakit jiwa, jika dirasa kondisi cukup aman.

Bagaimana aku tahu kalau ia seorang residivis? Begini Kawan, sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, itu kata peribahasa. Ternyata benar juga.

Malam itu... bulan sedang di atas kepala, daun-daun genit melambai-lambai digoda sang angin, gemerisiknya menghiasi keheningan malam, dingin mendekap hingga ke dalam tulang, mengerutkan kulit dan bibir yang menggigil tertikam angin, sekilas burung penjaga malam terbang melintasi berarak awan di bawah bulan, kemudian hilang, kesunyian membentang sepanjang mata memandang, keheningan yang mencekam, sempurna, kembali pada titik nol, seperti saat kita kembali pada fitrah kita nanti.

Aku sih waktu itu memang mau memutar arah saja, cari suasana, dalam perjalan pulang sehabis membeli kopi dan rokok, biasa untuk menemani menonton sepak bola. Soalnya Liga Champion sedang panas-panasnya. Biasanya aku jarang lewat dari jalan itu. Aku menginap di kosan temanku yang letaknya tak jauh dari perumahan itu.

Aku tidak sengaja memergokinya ketika sedang menggergaji kunci ganda sepeda motor di sebuah perumahan elit. Kami saling bersitatap. Aku terkejut pun dengan dia, tapi ia kemudian bersikap seolah tak melihat keberadaanku, sejenak aku diam terpaku, lalu segera beranjak pura-pura tidak tahu. Aku pikir setelah itu ia tidak berani datang ke kosanku. Ternyata aku salah!

Ada beberapa alasan kenapa waktu itu aku diam saja. Apa Kawan pikir karena aku takut? Ya, Kawan benar, tapi alasan yang paling utama karena aku merasa berhutang budi. Ia sangat baik kepadaku. Ia sering meminjamiku uang, bahkan memberiku uang. Kawan tahulah bagaimana kehidupan anak kos yang serba ngepas.

Di samping itu, aku tahu Nur sebenarnya orang baik. Pernah suatu ketika aku mengendarai sepeda motor bersamanya. Ketika sampai di tikungan sekejap seorang pengendara motor di belakangku menyalib dengan kecepatan super tinggi, mungkin ia ingin menjadi pembalap moto GP, ternyata datang mobil dari arah yang berlawanan. Pengendara itu pun terkapar. Aku sekilas melihatnya. Kasihan memang, tapi tetap memacu sepada motorku. Tiba-tiba Nur memintaku berhenti, lebih tepatnya memaksaku, karena aku menolak. Aku tak ingin repot terkena masalah, tapi ia tetap memaksa. Aku pun berhenti dan memutar arah.

“Emangnya dia siape lu?” ujarku.
“Dia orang Sob.”
“Guwe tahu, lagian yang nabraknya juga kabur, orang-orang yang laen juga pada diem aja! nanti kita kena masalah, repot! udah deh!”
“Gimana kalo yang tabrakan itu guwe?” aku tersentak dengan pertanyaannya.
“Ya, pasti guwe tolonglah, lu kan temen guwe.”
“Gimana kalo lu belum kenal guwe?” pertanyaannya monohok jantungku. Aku diam tak bisa berkata-kata.

Kami pun mengantarkan si korban ke rumah sakit. Nur menelpon keluarga korban. Ia mengetahui nomor keluarga korban dari handphone korban. Aku tak pernah menyangka akan diajari nilai-nilai kemanusiaan oleh seorang residivis. Ternyata hatinya begitu mulia. Aku baru sadar betapa tak berprikemanusiaannya aku selama ini. Masihkah pantas aku disebut manusia atau seorang mahasiswa?

Mungkin Kawan juga ingin tahu kenapa Nur sangat begitu baik padaku? Tak lain dan tak bukan karena wajahku mirip dengan adiknya yang sepuluh tahun lalu sudah ditelan bumi. Ia merasa menemukan keluarganya yang hilang. Aku pun tadinya tidak percaya, kupikir ia hanya mengada-ada.

“Ini poto ade guwe.”

Astaga! wajahku yang tampan nan rupawan ini ternyata punya kembaran. Aku seperti sedang bercermin, mirip sekali denganku. Sejak kejadian itulah ia mulai benar-benar terbuka tentang latar belakangnya, dan “profesinya” yang sebenarnya. Entah apa perasaaanku waktu itu aku tak tahu persis. Semua bercampur aduk. Aku merasa sangat terkejut, iba, sekaligus bangga, maksudnya bukan atas profesinya, tapi banggga atas perjuangan hidupnya, dan yang paling membuatku tercengang, jauh di dalam palung hatinya yang terdalam ia punya cita-cita mulia, ingin menjadi wartawan. Gila kan? seorang residivis ingin menjadi wartawan.

Mungkin memang ada sisi positifnya. Jika Nur menjadi wartawan berita kriminal. Ia akan mudah mengendus berita, ia tidak akan kepusingan karena mentok dikejar deadline, ia punya kelebihan yang tidak dimiliki wartawan lain, yakni pernah langsung terjun di dunia kriminal. Bukankah pengalaman adalah guru yang paling bijaksana.

Aku yakin yakin kalau Nur pada dasarnya orang yang baik. Keadaan dan ketidakpedulian yang memaksanya menjadi demikian. Kalau bahasa yang pernah aku dengar di TV sih bengini: Kita tidak miskin tapi dimiskinkan! Sistem yang membuat kita menjadi miskin!”. Mungkin juga sebenarnya Nur tidak kriminal, tapi secara tidak langsung dikriminalkan. Aduh, aku ini lagaknya sudah seperti seorang filosof saja, padahal cuma mahasiswa ingusan yang kerap kali kerepotan membayar tunggakan. Analogi yang mungkin ngawur, tapi biarlah, yang penting aku sudah bertutur dengan jujur, tiada maksud sok berbudi luhur. Memang agak sensitif juga kalau berbicara masalah “kriminal,” soalnya sekarang masih hangat istilah “kriminalisasi,” baik di media cetak maupun elektronik. Loh, kok nyambungnya ke situ, ini kan cepen! akh, sebelum tambah ngawur, nanti malah dikira ikut campur tapi gak ngatur, lebih baik aku lanjutkan saja ceritanya.

*****
Suasana yang sama memang kerap terjadi lebih dari sekali. Seperti ini misalnya: Malam itu... bulan sedang di atas kepala, daun-daun genit melambai-lambai digoda sang angin, gemerisiknya menghiasi keheningan malam, dingin mendekap hingga ke dalam tulang, mengerutkan kulit dan bibir yang menggigil tertikam angin, sekilas burung penjaga malam terbang melintasi berarak awan di bawah bulan, dan hilang, kesunyian membentang sepanjang mata memandang, keheningan yang mencekam, sempurna, kembali pada titik nol, seperti saat kita kembali pada fitrah kita nanti.

Sekarang kita sudah tiba pada bagian yang dramatis Kawan.

Tunai sudah rinduku. Nur datang ke kosanku. Aku beranjak ke kamar mandi, karena karena piring dan gelas berserakan belum dicuci. Aku mencuci dua buah gelas untuk menyeduh kopi.

“Guubbbrakkkk! Jangan bergerak!”

Berteriak seorang pria berambut panjang yang bersenapan laras panjang, mendobrak pintu kamar kosku dengan tendangan. Aku yang hendak masuk ke kamar kosku mematung, Kedua gelas yang aku pegang bergelontangan, tangan dan kakiku gemetaran. Kegaduhan membuat semua orang terbangun. Salah satu orang yang berambut cepak menjambak rambut Nur menyeretnya dengan paksa. Nur memegangi tangan seseorang yang menjambak rambutnya, berjalan terseok-seok setengah terbungkuk-bungkuk. Nur menoleh kearahku. Matanya memelas.

Salah satu temannya lagi menendang Nur dari belakang. Nur tersungkur, beberapa rambutnya masih tersisa di tangan orang yang menjambaknya, tercabut secara paksa. Nur mengerang kesakitan. Nur digelandang dengan tendangan, pukulan, bahkan sempat batok kepalanya diadukan dengan tembok. Wajah Nur yang tampan nan rupawan hancur lebur berantakan.

“Lari!”

Nur hanya terdiam duduk merunduk dengan dua tangan menelungkup kepala. Aku yang sejak tadi mematung berlari ke arah sumber suara bersama tetangga-tetangga kamar kosku. Hatiku teriris sembilu. Tak tega aku melihatnya, tapi mungkin ini terakhir aku melihatnya.

“Lari! Lari! atau kutembak! Lari!”

Teriak salah seorang di antara mereka, sambil melayangkan tendangan ke kepala. Nur kembali tersungkur. ia sekali lagi menoleh ke arahku. Tatapannya begitu sayu. Kemudian tersenyum. Senyum kesedihan, seolah mengatakan Selamat tinggal Kawan.

Ia pun berlari dengan putus asa. Salah satu di antara mereka mengangkat senapan dan selongsong peluru berjatuhan. Tiga butir peluru menembus angkasa. Nur kian berlari sejadi-jadinya. Kemudian pria itu dengan cepat membidik ke arah Nur, tepat mengarah dada.

Seseorang mengetuk pintu kamar kosku, kuhentikan jemariku yang sedari tadi menari-nari di atas keyboard.

“Nur! “ aku terkejut bukan kepalang.
“Lama tak jumpa Sob,” senyumnya mengembang. Aku beranjak dan langsung memeluknya. Oh! betapa aku merindukannya.
“Masuk!”
“Lagi nulis?” ia menengok, melihat tulisanku.
“O... iya,” ujarku agak gelagapan. Cepat-cepat kugerakan mouse mengklik tombol close pada microsof word.
“Kenapa ditutup, pelit amat, nulis apa? cerpen?”
“Iya, tapi belum beres akh malu, nanti aja kalo udah diterbitin. Itu juga kalo ada yang mau nerbitin. Hehe..”

Jadi begitu Kawan, alkisah tetang Nur alias Celeng alias Gepeng alias Bopeng alias Gareng. Ketika pria berambut panjang itu sudah membidik tepat ke arahnya, suatu keajaiban datang. Rombongan sepeda motor yang sedang berkonvoi tiba-tiba melintas dengan kecepatan super tinggi... “Huuh!... Heran,” begitu banyak orang yang ingin menjadi pembalap moto GP, tapi tidak tahu di mana tempat untuk beraksi. Walhasil mereka tanpa sadar menghalangi pandangan pria itu.

Aku begitu merindukannya Kawan, tiga tahun sudah aku merasa sangat kehilangan. Tolong jangan katakan pada siapa pun kalau aku menceritakan kisahnya padamu Kawan. Biarlah menjadi kotak rahasia antara kita yang akan selalu tersimpan dalam-dalam. Please!
***


Oleh yang punya blog

Kompas.com, Selasa, 2 Februari 2010

6 komentar:

  1. nice post....

    bagus euy ceritanya...
    kisah nyata???

    BalasHapus
  2. salam kenal :). makasih udah berkunjung ke tempat saya

    BalasHapus
  3. salam sahabat
    wah kalo bener demikian saya rasa perlu pendekatan yang siip gitu...good luck ya

    BalasHapus
  4. ini kisah nyata atu bukan sih??? nice one...

    BalasHapus
  5. halo teman.. selalu keren tulisanmu.. maaf telat mampirr

    BalasHapus
  6. Riesta, Ninneta : mksih koment'y. bkn ini murni fiksi. sama sekali tidak berangkat dri kisah nyata.

    Quinie : sama, mksh dah mau mampir.

    Dhana : Saya hanya brpikir tidak ada manusia di dunia ini yang bercita-cita menjadi orang jahat. Semua pst ada sebab yg melatarbelakangi'y, dan sejahat-jahat'y orang pst msh punya sisi baik.
    Bahkan sempat terpikir juga, kadang tanpa disadari kita sering bertindak lbh jahat dri orang yg kita anggp jahat.

    Ayin : Mksh, gpp. n jangna kapok wat mampir

    BalasHapus

Silakan beri komentar